My Life is Dream : BAB VIII ( Serangan Robot Menggila )
Ini seri ke 8. Mudah-mudahan tidak mengecewakan. Sebenarnya aku sudah capek membuatnya. Tapi karena kalian minta kelanjutannya, aku akan berusaha membuatnya sepenuh hatiku. Cie elah,,,,,Oming lebay.
Starring : Me, Echik, Putri, Yulia, Yuni, Dian, CCP Band.
Coming soon : Yena, Riza, Eka.
Written By : Mingming Potter.
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan dan ketidaksinambungan cerita!!!
*Selamat Menikmati*
~~~Airport Incheon~~~
"Duh, ngantuk banget nih, jam berapa sekarang chik?" tanyaku sambil mengusap air mata yang semalaman mengucur deras.
"Masih jam 2 pagi ni.....huam aku juga ngantuk!" Echik menguap.
"Bentar, aku sms Putri dulu...sehabis itu baru ke hotel!" seru Dian.
"Ah, baru pertama ke Korsel, serasa ingin melancong saja!" kata WS.
"Iya nih, tapi dingin banget disini, brrrrrr!" Wahma menggigil kedinginan.
"Keren sekali bandaranya, bersih dan canggih!" kata BJ kagum.
"Sudah, ayo sekarang kita ke hotel!" seru Dian yang sebelumnya mengirim sms ke Putri.
Kami semua bergegas menaiki taxi. Taxi yang begitu unik, tak henti-henti memanjakan pandanganku. Taxi yang menggunakan bahan bakar tanpa minyak membuat perjalanan terasa halus. Berbentuk segi lima dan berisi speaker disetiap sudutnya. Atap yang transparan memudahkanku untuk melihat langit yang penuh gemerlapan bintang. Walau langit masih gelap, pemandangan Incheon dapat terlihat jelas dalam pandanganku. Kurasa, musim panas akan segera berakhir. Terasa jelas karena hawa dingin tak henti-henti menyelimuti walau di dalam mobil sekalipun.
Tak terasa, setelah 30 menit melaju kencang akhirnya kami tiba disebuah hotel yang begitu berbeda dari sebelumnya. Terlihat jelas, saat kami memasuki areal dalam, bangunan hotel menggunakan arsitektur tradisional Korea. Namun, tak hanya kesan tradisional saja yang diperlihatkan dalam hotel ini. Patung-patung tradisional dikemas sebaik mungkin menjadi sebuah teknologi canggih. Itu semua dapat aku katakan karena saat berada di areal dalam, kami disambut oleh robot prajurit Korea dan robot pelayan yang menggunakan pakaian tradisional Korea.
"Waw, dia melambai padaku.......!" seru Echik
"Annyeonghaseo........!" kata robot itu sambil menganggukkan kepalanya kepada Echik.
Echik hanya tersenyum dan menggangguk.
"Ngantukku jadi hilang nih, liat para robot, lucu banget hihihi..!" seru Dian.
"Iya, tapi kita harus istirahat, agar misi ini cepat selesai!" kata Gus De yang begitu ngantuk.
"Dian, apa kamu sudah kontak si pemilik hotel sebelumnya?" tanyaku.
"Aku sudah memesan lewat telephone, nanti kita masukan saja passwordnya di robot resepsionis. Setelah proses, entry card akan keluar dari mulutnya!" kata Dian.
"Ia, kalau itu aku sudah tau, aku kan pernah ke Korsel sebelumnya hihihi!" kataku.
"Apa disini ada pegawai hotel yang benar-benar manusia tulen?" tanya Wahma penasaran.
"Aku liat infonya di internet sih tak ada!" kata Dian.
"Apa ini akan aman?" tanya Echik sambil mengusap mukanya yang mulai pucat.
"Kalau keamanan, jangan ragukan Korsel, teroris aja dicincang habis-habisan...!" kataku.
"Ya sudah, cepat cari kartu kamarnya!" kata Gus De.
Dian pun bergegas memasukkan password pada tombol yang berada dalam tubuh robot. Tak memakan waktu lama, kartu unik berwarna kuning keemasan keluar dari mulut lebarnya. Dengan ramahnya sang robot berkata "Gamsahamida" yang berarti "terima kasih" dalam bahasa Indonesia.
"Nih kartunya, sudah tau cara buka pintu kan?" tanya Dian.
"Belumlah, di Indonesia belum ada yang seperti ini!" kata BJ dengan bingungnya..
"Nanti, tempelkan kartu di intercom, pintunya akan terbuka otomatis. Kalau ingin menutup pintu, tekan tombol "close" yang berada di samping pintu!"
"Sip, kurasa itu mudah........!" kata Wahma.
"Baiklah, semua cepat istirahat, besok pagi kita harus segera ke rumah Yena.....!" kata Dian dengan semangat.
~~~Pagi hari~~~~
"Huam.......masih ngantuk!" tubuhku lemas dan lelah. Kemudian, aku beranjak mempersiapkan hari ini. Setelah semua siap, aku bergegas keluar kamar menemui Dian. Di luar, Dian dan yang lainnya sedang asyik-asyik bersantai di halaman depan.
"Dian..........kapan kita ke rumah Yena?!" teriakku dari luar kamar.
"Sekarang, tapi istirahat sebentar, masih lelah nih!" kata Dian yang sedang duduk dibawah pohon hijau yang begitu rindang.
"Echik, kamu sudah mandi?" tanyaku dan bergegas menghampiri Echik yang sibuk dengan Handphonenya.
"Sudah, aku lagi sms Putri kalau kamu ikut dalam misi ini!" kata Echik.
"Bagaimana perkembangan mereka? apa mereka sudah mendapatkan strategi?" tanyaku
"Ia, mereka akan meminta bantuan reality show di TV!" kata Echik.
"Duh, parah tu anak, sudah tau bohongan masih aja minta bantuan dari TV!" kataku sambil duduk melihat sms dari Putri.
"Tak ada salahnya mencoba kan? siapa tau bisa cepat ketemu!" jawab Echik.
"Ya deh, aku percayakan saja pada mereka!" kataku.
"Nah, sebaiknya kita berangkat sekarang....kurasa keadaanku sudah baikan!" kata Dian dan beranjak bangun dari tempat duduknya.
"Tunggu, aku mandi dulu...!" seru Wahma
"Aku juga belum......tunggu ya!" kata Gus De
"Hah, dasar wanna be a goat wkwkwk!" gurau Echik.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~BALI~~~
Sementara itu, sejak pagi tadi Yuni, Yulia dan Putri sedang mempersiapkan kedatangan tim termehek-mehek yang akan datang ke apartemen Putri. Mulai dari make up, karena mereka harus tampil cantik di depan kamera. Hingga kostum yang casual agar terlihat bagus di TV.
"Eh, siapa presenter termehek-meheknya?" tanya Yuni yang sudah berada di rumah Putri bersama Yulia.
"Kurang tau juga, tapi apa ini akan berhasil? kukira reality show ini memakai script!" tanya Yulia.
"Aku sudah koordinasi dengan tim termehek-mehek, kali ini takkan menggunakan script apapun!" kata Putri dengan leganya.
"Huh, syukurlah tapi aku sedikit gugup tampil di depan TV!" kata Yuni dengan khawatirnya.
"Tentang itu, termehek-mehek kali ini takkan disiarkan di TV!" kata Putri.
"What...........rugi dong aku datang kesini dandan cantik-cantik!" Ekspresi Yulia terlihat lebay.
"Ini murni bantuan, mengenai bayaran biar aku yang tanggung!" kata Putri.
"Syukurlah tak tampil di TV, tapi terima kasih Tik, kamu mau membayarnya!" Yuni menghela nafas lega.
"Sama-sama......!" sahut Putri dan memeluk Yuni dan Yulia dengan mesra.
~~~KORSEL~~~
Dilain cerita, Dian dan yang lainnya telah siap untuk menuju kerumah Yena.
"Let's Go.......!" seru Echik yang begitu semangat.
"Jalan kaki?" tanya Wahma gugup.
"Ya iyalah, tak terlalu jauh kok tempatnya dari sini!" sahut Dian sambil memakai syal putih dari bulu domba.
Kami semua melewati jalan yang begitu ramai. Nampak dalam pandanganku, disetiap sudut jalan dipenuhi pejalan kaki yang meramaikan suasana kota. Setiap aku menengok ke kanan dan kiri, berbagai keunikan tak henti-henti memanjakan mataku. Hembusan hawa dingin tetap menyertai langkah kaki kecilku. Walau disekitar kendaraan begitu padat, namun suara kendaraan tak terdengar bising sedikitpun. Yang terdengar hanya alunan nada yang dilantunkan oleh burung-burung taman dan hentakan kaki orang-orang, membuat keadaan kota penuh musik.
"Masih jauh gak sih.......?" Echik mulai mengeluh dan gelisah setelah berjalan 15 menit.
"Namanya juga jalan, memangnya kamu gak pernah jalan ya!" kata BJ sambil menjewer telinga Wahma yang sedang bengong melihat sesosok perempuan bermata sipit.
"Duh......sakit!" Teriak Wahma kesakitan dan meraba telinganya yang mulai memerah.
"Eh.......ingat pacar di rumah!" kata BJ menyebut-nyebut pacar Wahma.
"Ah......sebel!" Wahma mulai kesal.
"Eh.......itu Riza...............!" teriak Wahma melihat sesosok wanita yang ia duga adalah Riza.
"Mana........?!" kepalaku menoleh sana-sini, namun tak melihat batang hidung Riza.
"Iya.......mana?!" Echik menjadi histeris ketika Wahma melihat Riza.
"Itu......ayo ikuti aku saja!" teriak Wahma dan berlari secepat mungkin
"Woi tunggu.......!" kami pun mengikuti Wahma tanpa menghela nafas sedikitpun.
Wahma berlari sekencang mungkin meninggalkan kami jauh dibelakang. Dia mencoba mencari celah diantara kerumunan warga Korea yang sedang menjalankan aktifitasnya. Tiba-tiba, langkahku terhenti oleh suara besi baja terbentur sesuatu. Saat aku menghampirinya, ternyata suara itu disebabkan oleh Wahma yang menabrak robot polisi di depan tiang lampu dengan cerobohnya. Orang-orang menatap Wahma heran, bahkan ada diantara mereka nyengir melihat Wahma berlumuran tinta hitam yang dikeluarkan dari mulut robot itu.
"Wahma......kamu tak apa kan?" Dian membantu Wahma berdiri.
"Aiiiyek.........kotor sekali dirimu!" Echik tak suka melihat pemandangan ini.
"Oo ow.........ini gawat!" teriakku.
"Ada apaan?" tanya Gus De penasaran.
"Layar di tubuh robot bertuliskan *Danger* ini berarti......................!" jantungku perlahan berdetak kencang.
"Memangnya kalau danger kenapa?" tanya BJ heran memperhatikan gerak tubuhku yang mulai kaku.
"Dia akan menyerang........!" kataku dengan gugup.
"Memangnya ni robot nyerangnya pakai apa? bambu runcing kah?" Echik mulai main-main dengan perkataanku.
"Mengeluarkan tembakan laser...!" Kakiku terasa sedikit gemetar.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang.....?" Gus De mulai panik.
"Ya sudah pasti.......KABUR >_< !" teriakku dengan kencang, walau sedikit malu didengar setiap orang yang melintasi jalan ini.
Dengan langkah gesit aku dan kawan-kawan melesat melewati zabracross menuju sebuah gang kecil menuju perkebunan agar tak mengganggu aktifitas warga di kota. Robot polisi itu mengejar kami dengan langkah yang cepat pula. Sempitnya gang mengharuskan kami berlari lebih waspada.
"Robotnya semakin dekat, tapi mengapa dia tak mengeluarkan laser?" Echik mulai lelah namun ia masih dapat berkata-kata.
"Sudah jangan banyak bicara, yang penting kita menyusuri gang ini dulu!" Seru Dian yang berada dalam barisan depan.
"Sebenarnya, target robot itu hanya Wahma saja, tapi aku tak tega Wahma diserang!" kataku.
"So sweet kali kamu Ming!" BJ mulai bercanda.
Setelah melewati gang itu, kami tetap berlari menyusuri jalan pedesaan yang berdampingan dengan kebun indah bertabur sejuta warna.
"Wah, indahnya kebun ini.......!" Wahma berhenti berlari setelah melihat buah yang begitu menarik dimatanya.
"Awas Wah.........Robot itu akan mengeluarkan laser! cepat berlari dan menghindar!" teriakku dan menghentikan langkahku.
Benar dugaanku, laser berwarna ungu dengan kecepatan tak terduga hendak menyambar tubuh Wahma yang dilumuri tinta hitam. Untuk kali ini, Wahma sedikit beruntung, tubuhnya mampu menghindar dan Wahma bergegas berlari meninggalkannya.
"Duh, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan robot
itu? kata Wahma sambil berlari sekencang mungkin.
"Eh, disana ada pintu bawah tanah....!" kata Echik.
"Mana....? tanya Dian panik.
"Tuh........!" Echik menunjuk sebuah pintu didekat sungai yang tak jauh dari tempat kami berada.
"Ayo cepat masuk.........!" seru Dian.
Dian pun membuka pintu yang tak terkunci itu. Di dalam, terlihat sebuah tangga menuju ke dasar. Keadaan yang gelap menyulitkan pandanganku. Ditambah lagi, di dalam begitu dingin membuat sekujur tubuhku gemetar. Kami bergegas turun dan menutup pintu putih berlapis baja. Beruntung kunci pintu berada di sisi dalam pintu, sehingga kami bisa menguncinya. Kurasa cukup lama waktu yang diperlukan si robot untuk merusaknya.
"Friend, gelap banget ada senter gak?" Dian meraba-raba mukaku.
"Eh...gunakan HP ku saja!" jawabku.
"Nah begini lebih baik....!" kata Dian setelah aku menyalakan senter dengan HP serbaguna.
"Dimana kita sekarang,......!" Echik mulai resah.
"Kita telusuri saja akhir dari terowongan ini, setidaknya kita aman sementara!" kataku menenangkan Echik.
"Apa kelemahan robot itu ya......!" BJ bingung memikirkan keadaan ini.
"Jika dipikir-pikir, bukannya air bisa merusak peralatan komputer?" Gus De menatapku tajam.
"Kalau itu bisa saja, tapi si robot dilindungi pelapis baja! kurasa baja tahan air!" jawabku.
"Kalau instingku mengatakan, kita harus mentransfer virus kedalam otak komputer dari robot itu!" Echik mulai berfikir analitis.
"Bagaimana bisa, aku tak membawa alat secanggih itu, lagipula kita bertarung dengan robot Korea, mustahil untuk menghancurkan firewall-nya!" pikiranku mulai pusing memikirkan masalah ini.
"Ah, apa yang dia bilang........!" Wahma berbisik sendiri, bingung dengan perkataanku. Wajahnya mulai pucat, namun tubuhnya masih dilumuri tinta.
Berjalan cukup lama, Echik mendengar suara tangisan misterius yang perlahan membesar. Saat kami menghampirinya, terlihat sesosok gadis kecil sedang duduk termurung di hamparan batu terowongan. Echik mencoba mengajaknya bicara, namun si gadis enggan menjawabnya.
"Duh, kalau dia tak bisa bahasa Inggris gimana dong, aku kan tak bisa bahasa Korea, ada yang bisa gak?" Echik menatap wajah kami dengan memelas, kurasa dia iba melihat gadis yang malang itu sendirian di dalam terowongan yang gelap ini. Kami hanya menggelengkan kepala, mengingat tak satupun dari kami yang handal berbahasa Korea.
Dengan rasa kasihan, Echik pun mulai mengeluarkan air mata yang mengucur membasahi lekuk pipinya. Wajahnya yang semula cantik, menjadi aneh ketika make up-nya luntur melumuri wajahnya. Saat itu, pikiranku mulai tergerak.
"Friend, aku ada ide nih untuk menghancurkan robot itu!"
kataku dengan menatap wajah mereka penuh senyuman. Sepertinya Wajah Wahma terlihat lebih lega.
"Apa idenya......? tanya Dian sambil mengusap air matanya yang mulai keluar.
Saat aku hendak menghela nafas untuk berbicara, terdengar suara ledakan dari atas terowongan. Jantungku mulai berdegup kencang.
"Suara apa itu....? Gus De mulai panik dengan keadaan ini.
"Oh no....itu robotnya, ayo cepat lari!" kataku dan menunjuk lubang yang tepat berada di atas kami.
Kami pun berlari dengan kencang. Dengan pedulinya, Gus De menggendong anak kecil itu dan menenangkannya. Berlari dan terus berlari, entah sampai kapan dia akan berhenti mengejar.
"Ming, tadi idemu apa?" tanya Echik yang berlari di sampingku.
"Sini, aku ambil tasmu!" kataku. Wajah Echik tampak bingung dan sedikit kesal karena aku telah mengambil tasnya tanpa meminta persetujuannya. Dengan secepat mungkin aku mengambil sebuah cermin kecil yang berisi bedak kecantikan dan sebuah botol air minum yang terisi penuh dengan air.
"Ah, aku tau sekarang idemu,....!" seru Echik.
"Baiklah, sekarang ini tugas untukmu Wah. Karena kamulah target dari robot itu. Pantulkan lasernya menuju kepala robot dengan cermin dan aku akan menyiram otak komputernya dengan air ini!" kataku dan memberikan cermin itu kepada Wahma.
"Apa aku bisa......?" Wahma merasa takut.
"Aku percayakan padamu...!" kataku untuk menambah percaya diri Wahma.
Setelah selang waktu yang tepat, Wahma pun memberanikan diri untuk melawan robot itu. Wahma menghentikan langkah kakinya dan berbalik badan. Aku bersembunyi di belakang badannya.
"Semangat ya........aku hanya bisa mendukung dengan bantuan doa hihihi!" Echik mulai mengeluarkan candanya yang semula bersedih.
Akhirnya, si robot mengeluarkan laser ungu dan terarah dengan jantung Wahma. Melesat cepat melebihi kecepatan cahaya. Wahma sedikit gugup, namun teriakan CCP dan Echik membangkitkan semangatnya. Cermin yang sebelumnya berada di kepala Wahma, berhasil ia pindahkan dengan cepat menuju letak jantungnya. Hasilnya, laser berbalik arah menuju kepala robot dengan kecepatan yang sama. Saat itu Wahma menunduk, dan aku menyiram kepala robot itu dengan air minum. Beruntung tepat sasaran dan membuat program komputer dari robot itu mati.
"Yeahhh..........Berhasil!" Wahma menghela nafas lega untuk mengucapkan kata ini dengan penuh semangat.
"Nih masih ada sisa air, bersihkan dirimu Wah!" kataku.
"Syukur........akhirnya masalah ini selesai juga, tapi kembalikan cerminku ah!" Echik kembali mengeluarkan candanya.
"Tidak,......ini belum berakhir!" perkataan BJ membuat kekawatiran kembali terjadi.
"Maksudmu....?" tanya Dian heran.
"Gadis kecil itu menghilang...........!" kata BJ dan menatap mata kami tajam. Ekspresiku dan perasaanku berubah seketika.
"Apa........tadi saat Wahma menyerang robot itu, aku menggendongnya kok, tapi kenapa hilang tiba-tiba. Kurasa aku memegangnya erat sekali!" Kata Gus De menampilkan ekspresi khawatir. Pikirku, Gus De tak mungkin melepaskannya begitu saja.
"Aku pikir, semua ini adalah bantuan......!" Dian mulai berpikir dari sisi yang berbeda.
"Maksudmu apa?" tanya Wahma heran sambil mengusap tinta yang masih menempel di hidungnya.
"Gadis kecil itu adalah malaikat......!" seru Dian.
"Saat si gadis kecil itu menangis, aku jadi mendapatkan ide karena melihat make up Echik luntur!" kataku.
"Iya benar, mungkin dia membuatku menangis agar kita bisa mendapatkan ide!" Echik mulai mengerti.
"Apa itu terlalu berlebihan....kurasa itu tahayul!" WS mulai berkata-kata saat sebelumnya enggan berbicara karena sakit tenggorokan.
"Sudahlah, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Anggap saja kalau gadis kecil itu malaikat. Jika bukan, kita doakan saja agar dia bertemu dengan orang tuanya ya!" kata Dian dengan bijaknya.
“Kurasa Dian benar, hehe!” WS mulai mengeluarkan tawanya.
"Ayo, kita cepat kerumahnya Yena sebelum Sore!" seru Wahma.
Kami pun bergegas menuju rumah Yena. Semoga tak ada halangan lagi yang membentang. Wahai malaikat kecil, terima kasih atas bantuanmu. Aku yakin kau akan menyertai kami dalam misi ini.
Bagaimanakah kelanjutan kisahnya.........?
Apakah Riza bisa ditemukan di rumah Yena……?
Bagaimana pula kelanjutan kisah Putri, Yuni dan Yulia di Bali…………?
Tunggu kelanjutannya di MY LIFE IS DREAM BAB IX ( Rahasia dibalik labirin kuno )
Wih keren ceritanya ,, lanjutkan gan :D
ReplyDeletewidih mantapp sobb :D
ReplyDeletemampir :)
kunjungan perdana sob :)
ReplyDeleteterima kasih atas kunjungannya sob . .
ReplyDelete